Peristiwa APRA di Bandung

Pembentukan APRIS ternyata telah menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan terjadinya serentetan pertumpahan darah. Dikalangan TNI sendiri ada tentangan dan keengganan untuk bekerja sama dengan bekas anggota tentara Belanda KNIL, KL, KM, dan sebagainya yang dilebur ke dalam APRIS. Sebaliknya, di pihak KNIL ada tuntutan agar bekas-bekas kesatuannya ditetapkan sebagai alat dari negara bagian. Ketegangan ini dipertajam oleh pertentangan politik antara golongan "federalis" yang ingin tetap mempertahankan eksistensi negara bagian dengan golongan "unitaris" yang menginginkan negara kesatuan.
Di Bandung apa yang menamakan dirinya " Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)" memberikan "ultimatum" kepada Pemerintah RIS dan Negara Pasundan supaya mereka diakui sebagai "Tentara Pasundan" dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka tersebut. Ultimatum itu dengan sendirinya tidak dihiraukan oleh Pemerintah RIS.
Pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA melancarkan serangannya terhadap kota Bandung. Gerombolan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, yang pada bulan Desember tahun 1946 telah memimpin gerakan pembunuhan massal terhadap rakyat Sulawesi Selatan. Gerombolan yang menyerang kota Bandung berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL, pelarian pasukan payung, barisan pengawal, "stoottroepen", dan polisi Belanda dengan dilindungi oleh kendaraan berlapis baja. Untuk beberapa waktu lamanya mereka dapat menguasai kota Bandung.
Perlawanan dapat dikatakan hamper tidak ada oleh karena penyerbuan tersebut tidak terduga sama sekali dan mengingat kesatuan-kesatuan Siliwangi baru beberapa saat saja memasuki kota Bandung setelah perdamaian tercapai sebagai hasil KMB. Bahkan, ketika peristiwa ini terjadi, Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Sadikin, sedang mengadakan peninjauan ke luar kota, yaitu ke Subang bersama Gubernur Jawa Barat Sewaka.
Untuk memperkuat pertahanan kota Bandung, Pemerintah RIBS segera mengirimkan bala bantuan antara lain kesatuan-kesatuan Polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Ti¬mur, yang ketika itu sedang berada di Jakarta. Pada hari itu juga gerombolan APRA mengundurkan diri dari kota Bandung.
Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang mela¬kukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Dalam suatu pertempuran di daerah Pacet pada tanggal 24 Januari 1950, pasukan TANI berhasil menghancurkan sisa gerombolan APRA.
Di kota Bandung juga ditiadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Gerakan terse-but dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke lu¬ar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
